Beberapa hari lalu, pada kesempatan yang tidak kami rencanakan, saya dan paman saya berdiskusi mengenai surat Al-Fatihah ayat 6-7.Tentang sebuah jalan yang dalam setiap hari umat islam pinta pada Allah minimal 17 kali dalam satu hari.
Sebelum pada diskusi kami, ini adalah ayat yang kami maksud;
(7) اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم (6) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Tunjukilah kami jalan yang lurus (6) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni'mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7)
Dua ayat dalam surat pembuka ini lah munculnya diskusi menarik. Paman saya menyebut ayat 7 adalah pleonasme dari ayat sebelumnya. Sementara saya kurang sependapat. Saya berpikir, Allah tidak mungkin hanya ingin bermajas penekanan saja. Namun Allah menegaskan "mintalah pada Ku sebuah jalan lurus yang diberikan nikmat atasnya (orang-orang/umat/ yang memegang teguh tauhid dan melaksanakan apa-apa yang diperintahkanNya), yang tidak Ku murkai dan tidak sesat. "Sehingga dalam hal ini tentu ada jalan lurus yang dimurkai dan menyesatkan", ujar saya pada sang paman...
Kemudian paman berkata lagi, (seolah-olah saya masih dirasa belum memahami) "pleonasme itu seperti ketarangan yang menegaskan, seperti naik ke atas, turun ke bawah. Padahal semua orang tahu kalau naik sudah pasti keatas, dan turun sudah pasti ke bawah".
Dengan bahasa santun tanpa sedikitpun menyela saya kemudian utarakan kembali maksud pendapat saya diatas, "Kenapa jalan lurus ada yang dimurkai dan juga ada yang sesat. Saya gunakan sebuah analogi, jika ada orang kafir yang baik, dan melakukan hal benar semisal menyantuni orang yatim atau jompo sebagai aktivitas sosial mereka, apakah itu bukan jalan yang lurus, sementara itu membuatnya merasa berguna? Tentu semua setuju dan akan menjawab iya itu jalan / upaya yang lurus dan benar. Karena memang tidak ada yang salah, dan itu sangat mulia dimata kita sebagai manusia. Namun tetap saja di mata Allah itu tidak akan pernah dianggap, karena niatnya tidak sampai pada Nya". Kemudian saya menggunakan analogi lagi yang lebih universal, "semisal ada seseorang yang bukan karyawan perusahan tertentu, membantu mengerjakan semua pekerjaan temannya yang karyawan, maka betapapun perfek pekerjaan yang telah dilakukan untuk temannya tadi tidak akan pernah diakui oleh perusahaan. Yang diakui tetap saja kawannya yang telah teken kontrak" lanjut saya.
Paman saya terlihat gembira dengan pendapat saya, seolah ada sudut pandang baru baginya, dan saya pun sangat berterimakasih, karena telah memberikan hal serupa. Saya percaya kebenaran ditangan manusia memiliki celah salah, demikian pula yang kita "anggap" salah tentu berpeluang adanya kebenaran. Wallahu a'lam..
Diskusi kami harus selesai karena paman harus segera pulang dan esok pagi-pagi sekali sudah harus melakukan perjalanan. Saat itulah saya merasa ada yang mengganggu pikiran saya, "jangan-jangan pendapat saya salah? Jangan-jangan tafsir saya terlalu liar hanya menggunakan pikiran sendiri tanpa dasar-dasar yang kuat?". Perasaan bersalah dan "takut dosa" mendorong saya untuk bongkar-bongkar ebook yang sebenarnya cukup lama sudah saya download namun belum sempat dibaca tentang tafsir Al-Quran Ibnu Katsir. Tanpa menunggu lama, saya langsung scrol menuju Al-Fatihah ayat 6-7. Dan alhamdulillah, cukup tercerahkan!
Untuk hal yang saya dapat dari Tafsir Ibnu Katsir atau biografi beliau sendiri, insyaAllah akan saya share dilain kesempatan. Terimakasih telah datang ke blog ini, semoga bermanfaat!
Jika memerlukan ebook Tafsir Quran Ibnu Katsir, silahkan download disini
Komentar
Posting Komentar